boyolali

boyolali
pintu gerbang

Jumat, 24 Desember 2010

ponpes al ikhlas dawar boyolali

cerita

ponpes putra-putri al ikhlas yang beralamat dawar, manggis, mojosongo, boyolali, jawa tengah. mulai tahun ajaran 2010 telah membuka sekolahan farmal yaitu Madrasah tsanawiyah satu atap (MTs-SA al ikhlas).

Yayasan ponpes putra putri al ikhlas yang mendukung program negara indonesia yaitu wajib belajar 9 tahun. maka dari itu ponpes putra-putri al ikhlas bekerja sama dengan pemerintahan australia (AIBEP) Australia Indonesia Besic Education Program.
MTs-SA al ikhlas adalah sekolah yang tarifnya tidak nasional, tetapi kualitasnya insyallah nasional karena didukung para guru/pengajar yang profesional, ahli dalam bidangnya, komplek sekolah yang asri dan udara yang segar karena banyak pepohonan, gedung yang megah dan fasilitas yang memadahi bagi siswa yang ingin berprestasi.tidak seperti sekolahan yang lain yang mempromosikan sekolah bertaraf nasional, tetapi kenyataannya tarifnya yang nasional.


ini baru critanya....
Mata anak laki-laki itu terbelalak. Ia terbangun, setelah dirasa cukup memberi waktu tubuhnya yang kurus untuk beristirahat. "Ahh! Aku bangun kesiangan!” gerutunya. Padahal, jam masih menunjukkan pukul 4 pagi. Waktu yang tepat bagi sebagian besar orang untuk kembali terlelap di peraduannya. Adzan subuh pun tak jarang mereka dengarkan. Dan ketika mereka terbangun, MASYA ALLAH!! Fajar mulai beranjak ke atas langit.

“Harusnya aku bangun lebih awal! Malasnya aku ini...”, gumamnya sembari mengambil sebuah tomblok. Bajunya tampak kotor, bahkan ada sobekan besar di bagian punggungnya. Celana yang dipakainya kemarin, masih ia kenakan untuk hari ini dan hari berikutnya. Ia mengambil buntelan plastik yang ada di atas meja kamarnya. Kemudian, ia masukkan buntelan plastik itu ke dalam tombloknya. Buntelan plastik itu selalu ia persiapkan ketika ia akan tidur agar paginya ia tidak terburu-buru mempersiapkannya.

Ia bergegas. Sandal lusuhnya selalu menemani langkahnya kemanapun ia pergi. Maklum saja, hanya sandal lusuh itu yang ia punya. Untuk membeli sepasang sandal seharga 4.500 rupiah saja, ia harus berpikir dua kali. Lebih baik uang itu digunakannya membeli nasi dan sayur untuk makan ke dua adiknya.

Ahmad namanya. Ibunya meninggal selang beberapa bulan setelah kelahiran adik bungsunya. Sedangkan ayahnya, kawin lagi dan pergi meninggalkan mereka. Sejak saat itu, Ahmad menjadi tulang punggung keluarga untuk mencukupi hidup ke dua adiknya. Anak berumur 13 tahun itupun harus merasakan pahitnya hidup tanpa didampingi ke dua orang tuanya.

***

Jalanan masih berkabut, dingin tak terkira. Embun melapisi dedaunan. Rerumputan rebah, menutupi rekahan tanah yang tak tahu darimana muasal rekahan itu. Dari beberapa rumah, lampu dapur 5 watt menyala remang-remang. Tampak asap pembakaran dari tungku desa menggumpal keluar dari celah-celah kecil dinding bambu. Perkampungan kumuh, tempatnya orang-orang tak beruang berkumpul.

Berbeda dengan perumahan elit yang pastinya para penghuninya sedang disibukkan dengan mimpinya. Kemudian mereka akan terbangun dan yang mereka ingat adalah uang dan harta mereka yang melimpah.

Ahmad tersenyum tipis. Kali ini ia berdiri di depan tempat pembuangan akhir (TPA). Perjalanan singkat dari gubuknya ke tempat itu. Tempat yang telah dianggapnya kantor. Tempat yang akan menghasilkan uang untuk menyambung hidupnya. Ia berlari kecil menuju timbunan sampah dengan bau yang menusuk hidung. Di matanya, timbunan sampah itu adalah gunung emas. Semua barang-barang bekas dan rongsokan bisa ia dapatkan dengan gratis di sana. Kemudian, barang-barang dan rongsokan tersebut dapat ia jual kembali atau kalau ada barang bagus bisa ia miliki tanpa ada yang melarang. Seperti sandal lusuh yang ia pakai, ia dapatkan dari tempat itu. Karena semua itu hanyalah sampah.

Ahmad mulai mengais di tumpukan sampah. Botol-botol dan kaleng bekas ia punguti satu persatu. “Semoga hari ini aku dapat barang bagus,” katanya dalam hati. Ia terus mengais. Tak terasa, adzan subuh berkumandang dari mushola tak jauh dari tempat pembuangan tersebut. Ia berhenti sejenak. Kemudian ia meninggalkan tempat itu dan bergegas menuju mushola.

***

Mushola kecil itu terletak tak jauh dari tempat pembuangan akhir. Mushola kecil tapi tak pernah sepi oleh orang-orang yang ingin sholat berjamaah. Tentu saja hanya kalangan orang tak mampu saja yang mau singgah di sana. Bukankah orang-orang kaya sudah memiliki masjid yang megah dan besar? Tapi sayangnya, jarang sekali masjid itu penuh oleh jamaah.

Bau sampah masih melekat pada tubuh Ahmad. Malu rasanya ingin jumpa dengan Sang Pencipta dengan bau seperti itu. Ia pun bergegas ke kamar mandi. Tomblok penuh rongsokan itu ia tinggalkan di dekat mushola. Tak perlu cemas ia memikirkan tomblok itu. Toh, tak ada orang yang mau mencuri rongsokan.

Ia buka buntelan plastik yang ia bawa dari rumah. Di dalamnya terdapat kain sarung dan baju koko putih bersih pemberian almarhumah ibunya sebelum beliau meninggal. Pakaian itu selalu ia kenakan sebelum sholat. Hanya itu pakaian terbaik yang ia miliki. Selebihnya, hanya pakaian lusuh compang-camping yang ia punya.

3 menit lamanya waktu untuk mandi. Setidaknya, bau sampah yang tadinya menempel di badannya sudah hilang. Baju lusuhnya tadi telah ia tanggalkan sebentar, terganti dengan baju koko rapi dengan kain sarungnya. Kemudian, ia sholat berjamaah bersama dengan orang-orang miskin.

Alangkah bahagianya, ketika mereka tidaklah memikirkan derajat mereka ketika menyembah Rabb semesta alam. Karena semuanya sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanyalah iman mereka. Betapa manusia sering luput, menganggap pangkat dan derajatnya di dunia adalah beda. Sehingga yang tinggi pangkatnya selalu menghina dan mengekang orang-orang yang rendah pangkat dan derajatnya. Bukankah kita berpijak pada tanah yang sama? Astaghfirullah...

***

Sholat berjamaah telah usai. Satu persatu jamaah meninggalkan mushola itu. Tinggallah Ahmad yang duduk bersila di sana. Kedua tangan dan wajahnya menengadah. Ia berdoa. Lamat doanya terdengar :
“Ya Allah... ketika Engkau mendengar doaku, maka sampaikanlah rinduku untuk Rosulku. Sampaikanlah rinduku untuk ibuku.
Ya Allah... ketika Engkau dengar doaku, maka lindungilah aku dan ke dua adikku. Lindungilah ayahku. Bukalah mata hatinya agar ayahku kembali lagi pada kami.
Ya Allah.. ketika Engkau dengar doaku, maka hal yang ingin ku katakan adalah aku mencintai-Mu...”

Air matanya meleleh membasahi pipinya. Ketika itu pula, ketenangan ada pada dirinya. Ia percaya, Allah akan selalu mengabulkan doa hambanya yang mau berdoa dan berusaha.

Setelah itu, ia sambung harinya dan percaya bahwa suatu hari hidupnya akan berubah menjadi lebih baik.


ponpes putra-putri al ikhlas yang beralamat dawar, manggis, mojosongo, boyolali, jawa tengah. mulai tahun ajaran 2010 telah membuka sekolahan farmal yaitu Madrasah tsanawiyah satu atap (MTs-SA al ikhlas).

Yayasan ponpes putra putri al ikhlas yang mendukung program negara indonesia yaitu wajib belajar 9 tahun. maka dari itu ponpes putra-putri al ikhlas bekerja sama dengan pemerintahan australia (AIBEP) Australia Indonesia Besic Education Program.
MTs-SA al ikhlas adalah sekolah yang tarifnya tidak nasional, tetapi kualitasnya insyallah nasional karena didukung para guru/pengajar yang profesional, ahli dalam bidangnya, komplek sekolah yang asri dan udara yang segar karena banyak pepohonan, gedung yang megah dan fasilitas yang memadahi bagi siswa yang ingin berprestasi.tidak seperti sekolahan yang lain yang mempromosikan sekolah bertaraf nasional, tetapi kenyataannya tarifnya yang nasional.